Tractor-Truck.Com

“Mengapa harus sulit, buang waktu dan biaya serta tenaga untuk mencari Spare Part Alat Berat dan Truk ?”
“Tractor-Truck.Com solusi tepat, cepat, hemat, praktis dan terpercaya mendapatkan Spare Part Alat Berat dan Truk”

 


Kami Tractor-Truck.Com mengucapkan terima kasih atas kunjungannya serta kepercayaan yang telah diberikan oleh Pelanggan yang sudah memanfaatkan fasilitas dan mendapatkan pelayanan dari team marketing kami atas kebutuhan Spare Part, Component & Unit yang berkaitan dengan Alat Berat, Genset & Truk. Bagi para Pengunjung dan Pelanggan Baru juga dapat memanfaatkannya fasilitas ini secara langsung dengan mengirimkan email (klik di sini) marketing@tractor-truck.com atau telpon & sms ke 081288639888 serta facsimile ke 021-85904666.

___________________________ Sudah terbukti serta dapat dipercaya dan diandalkan ___________________________
DAFTAR UNIT YANG DIJUAL



JAKARTA. Harga minyak masih bergerak di level rendah. Meski rebound tipis dibanding kemarin, tekanan terhadap minyak belum berakhir.

Mengutip Bloomberg, Kamis (11/12) pukul 10.20, harga minyak West Intermediate Texas (WTI) berada di level US$ 61,47 per barel. Harga rebound 0,87% dibanding hari sebelumnya. Kemarin, minyak turun sebesar US$ 2,88 per barel dalam sehari dan sempat menyentuh level terendah lima tahun di level US$ 60,94 barel.

Zulfirman Basir, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures mengatakan, tekanan harga minyak belum mereda. Menurutnya, investor masih cemas dengan melimpahnya suplai di pasar setelah OPEC tetap mempertahankan kuota produksinya. Kecemasan juga diperburuk oleh komentar Menteri Perminyakan Arab Saudi Ali al-Naimi yang mensinyalkan eksportir minyak utama dunia tersebut tidak mempertimbangkan untuk memangkas produksi minyaknya.

"Bahkan Kuwait mengikuti langkah Arab Saudi dan Irak yang memangkas harga jual minyaknya untuk konsumen Asia," jelas Firman.

Laporan Energy Information Administration (EIA) semalam juga menunjukkan stok minyak di AS bertambah sebanyak 1,5 juta barel untuk minggu yang berakhir pada 5 Desember. Ini mungkin dapat menjaga sentimen negatif terhadap minyak.

Firman bilang, outlook minyak masih bearish. Ia memprediksi minyak WTI akan diperdagangkan di kisaran US$ 59,90-US$ 62,25 per barel pada hari ini.

Editor: Barratut Taqiyyah


Narasumber : kontan.co.id
Diperbarui pada Kamis, 16 Jun 2016 10:41

NEW YORK. Harga kontrak minyak mentah untuk pengantaran Januari berhasil rebound pada akhir transaksi kemarin malam (9/12). Padahal sebelumnya, harga kontrak minyak ini sempat anjlok ke level terendah dalam lima tahun terakhir.

Mengutip data Reuters, harga kontrak minyak untuk pengantaran Januari naik 77 sen menjadi US$ 63,82 per barel di Chicago Mercantile Exchange. Sebelumnya, harga kontrak ini bergerak di kisaran US$ 64,20 (level tertingginya) dan US$ 62,25 (level terendahnya).

Kenaikan harga juga terlihat pada minyak Brent sebesar 49 sen menjadi US$ 66,68 per barel. Harga minyak Brent sempat menyentuh level US$ 65,29, yang merupakan level terlemah sejak September 2009.

Harga minyak kali ini dipengaruhi oleh pelemahan dollar yang pada akhirnya mengerek nilai komoditas yang ditawarkan dalam dollar AS.

 

Editor: Barratut Taqiyyah
Sumber: Bloomberg


Narasumber : kontan.co.id
Diperbarui pada Kamis, 16 Jun 2016 10:41

JAKARTA. Harga tembaga turun karena kekhawatiran melambatnya permintaan China sebagai pengguna logam industri terbesar di dunia. Kekhawatiran muncul setelah inflasi (CPI) China bulan November melambat menjadi 1,4%, lebih rendah dari prediksi analis 1,6%. Sedangkan Indeks Harga produsen (PPI) turun menjadi -2,7%  dari sebelumnya -2,2% .

Data Bloomberg memperlihatkan, Rabu (10/12) pukul 10.00 siang waktu Shanghai, harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange sebesar US$ 6.445,25 per metrik ton, turun 0,5% dari hari sebelumnya.

Li Ye, analis Shenyin & Wanguo Futures Co yang berbasis di Shanghai mengatakan pada Bloomberg bahwa rilis CPI dan PPI bulan November menunjukkan ekonomi China masih melambat. “Kami mungkin perlu mengurangi harapan terhadap pertumbuhan konsumsi logam," ujarnya.

Selain data CPI dan PPI, Ibrahim, Analis dan Direktur Equilibirium Komoditi Berjangka menambahkan harga komoditas juga tertekan akibat pengetatan pinjaman jangka pendek di China. “Ini menurunkan harga komoditas,” ujarnya.
Gejolak politik di Yunani jelang pemilihan presiden pada bulan ini ikut menggerus harga tembaga. Maklum, salah satu capres dari partai sosialis menentang bantuan dana moneter internasional (IMF).

Jika partai ini memenangkan pemilihan presiden, maka bantuan dari IMF akan dihentikan sehingga akan terjadi  gesekan dalam perekonomian Eropa. Sebab, saat ini utang Uni Eropa sudah mencapai US$ 4 triliun baru dibayarkan bunganya saja akibat krisis yang terjadi di kawasan itu. “Padahal krisis di Eropa awalnya terjadi di Yunani,” jelas Ibrahim.

Kendati harga turun, Ibrahim melihat tembaga masih berpotensi menguat terbatas karena indeks dollar AS  dan indeks saham AS turun. Investor akan memanfaatkan situasi ini untuk melakukan aksi beli komoditas.

Secara teknikal, bollinger band dan moving average (MA) 80% berada di atas bollinger bawah mengindikasikan masih akan turun, namun ada potensi menguat karena sudah mendekati bollinger tengah. Stochastic berada di level 60% area negatif mengindikasikan penurunan. RSI di level 65% area negatif. Namun, MACD berada di level 65% area positif.

Ibrahim melihat harga tembaga masih akan turun terbatas, namun akan kembali naik seiring penurunan dollar AS. Ia memprediksi, harga sepekan ke depan di kisaran US$ 6.400,50–US$ 6.500,70 per metrik ton.

Editor: Sofyan Nur Hidayat

Narasumber : kontan.co.id

Diperbarui pada Kamis, 16 Jun 2016 10:41

JAKARTA. Setelah sempat naik ke level tertinggi selama sepuluh pekan pada Kamis (4/12) lalu, harga nikel terus merosot. Harga tertekan karena investor berekspektasi rendah terhadap pertumbuhan ekonomi China sebagai konsumen nikel terbesar.

Mengutip Bloomberg, Selasa (9/12), pada pukul 12.15 WIB harga nikel kontrak pengiriman Maret 2015 di London Metal Exchange (LME) turun 0,34% dari hari sebelumnya menjadi US$ 16.630 per metrik ton. Namun, sepekan terakhir harga masih tumbuh 1,93%.

"Penurunan harga energi dan metal merupakan refleksi rendahnya ekspektasi pertumbuhan China," kata Steven Dooley, Currency Strategist for the Asia Pacific Region, Western Union Business Solutions.

Ibrahim, Analis dan Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka, memaparkan, ekonomi Tiongkok yang masih resesi memicu pelemahan permintaan nikel. Stimulus dan pemangkasan suku bunga tidak lantas membantu perbaikan ekonomi Tiongkok. Sebab, "Alasan stimulus dan pengurangan suku bunga China adalah karena ada utang pemerintah dan swasta jatuh tempo pada kuartal empat ini sebesar CNY 500 miliar," jelas Ibrahim.

Faktor lain, stok nikel di pasar masih menumpuk. Negara-negara produsen, seperti Filipina dan Rusia terus menggenjot ekspor. "Negara-negara tersebut menghabiskan kuota produksi kuartal empat," kata Ibrahim. Di sisi lain, indeks dollar Amerika Serikat terus menguat di level 89. Para pelaku pasar memilih menahan diri dalam menghadapi situasi ini. "Ini tidak diinginkan pasar, harga jadi terlalu mahal," jelas Ibrahim.

Belum lagi Zona Eropa, sebagai salah satu pengguna komoditas terbesar masih terbelit persoalan ekonomi. Ini menyebabkan permintaan nikel berkurang. Ibrahim menduga, sepanjang pekan ini harga nikel masih akan jatuh. Apalagi jika nanti pada Rabu (10/12), rilis data ekonomi China seperti consumer price index, producer price index, new yuan loans, dan broad money memberikan hasil lebih rendah dari ekspektasi pasar. Harga nikel akan menukik. Secara teknikal, bollinger band 30% di atas bollinger tengah.

Sedangkan stochastic di level 60% positif dan garis moving average convergence divergence (MACD) di level 65% positif. Relative strength index (RSI) masih wait and see. Keadaan ini mengindikasikan bahwa harga nikel masih mampu rebound terbatas. Ibrahim memprediksi, harga nikel hari ini, berada di support US$ 16.530 per metrik ton. Sedangkan resistance di US$ 16.640 per metrik ton.

Sepekan ini, harga bergerak di kisaran US$ 16.420 sampai US$ 16.690 per metrik ton.

Editor: Barratut Taqiyyah


Narasumber : kontan.co.id
Diperbarui pada Kamis, 16 Jun 2016 10:41

JAKARTA. PT Harita Abadi Prima Mineral tengah menggenjot proses pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) meliputi engineering, procurement, and construction (EPC) alumina berkapasitas 2 juta ton per tahun. Hingga awal Desember, pembangunan pabrik yang berlokasi di Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat tersebut telah mencapai 39% dan diproyeksikan rampung akhir 2015.

Ery Sofyan, Direktur Harita Prima Abadi Mineral, mengatakan, saat ini Harita sudah menyiapkan dana investasi senilai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun. "Kegiatan konstruksi sipil sudah mulai dilakukan, bahkan  60 kapal yang membawa perlengkapan mesin pabrik sudah didatangkan dan siap untuk melakukan instalasi," kata Ery kepada KONTAN, pekan lalu.

Harita berencana membangun smelter alumina dengan kapasitas total mencapai 4 juta ton per tahun. Seluruh proyek ini akan berlangsung hingga tahun 2021.

Tahap awal, Harita akan membangun smelter alumina berkapasitas 2 juta ton per tahun. Pabrik tersebut membutuhkan bauksit sekitar 6 juta ton setahun.

Kebutuhan investasi pengerjaan proyek tahap pertama ini mencapai US$ 1 miliar atau setara Rp 12 triliun. Dalam proyek ini, anak usaha PT Cita Mineral Investindo Tbk ini menggandeng China Hongqiao Group Ltd dan Winning Investment Company.

Berikutnya, pada tahap kedua, akan dibangun lagi smelter berkapasitas 2 juta ton, lagi dan ditargetkan beroperasi 2021. Total investasi dua tahapan proyek ini diperkirakan mencapai US$ 2 miliar hingga US$ 2,2 miliar.

Ery optimistis, proyek tahap pertama yang kini sudah berjalannya yang akan menghasilkan bahan baku logam aluminium ini bakal beroperasi pada 2015 mendatang. "Tahun depan, kami mulai memproduksi pabrik dengan kapasitas 1 juta ton, kemudian kapasitasnya akan bertambah 1 juta ton lagi pada 2017," kata dia.

Mengingat investasi yang besar, Harita meminta intensif dari pemerintah berupa pemberian kuota ekspor. Dengan demikian, beban perusahaan menjadi  ringan karena adanya pemasukan dari ekspor. "Kalau boleh kami akan ekspor 6 juta ton," ujarnya.

Editor: Sanny Cicilia

Narasumber : kontan.co.id

Diperbarui pada Kamis, 16 Jun 2016 10:41

 

Anda disini: Home Semua Berita