- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2567
Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan berharap moratorium perizinan kapal tangkap nantinya bisa menata ulang sumber daya ikan tangkap yang saat ini over eksploitasi di beberapa wilayah penangkapan ikan RI.
Direktur Sumber Daya Ikan Ditjen Perikanan tangkap KKP Toni Ruchimat mengatakan seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI saat ini terpantau over fishing untuk beberapa species yang ditangkap.
"Setiap WPP yang berjumlah sudah ada perhitungan potensi yang ada, saat ini seluruhnya ada yang terdeteksi merah untuk spesies tertentu yang berarti penangkapannya sudah diambang batas," katanya, Jumat, (5/12/2014).
Data KKP menyatakan 8 dari 11 WPP terdeteksi over eksploitasi untuk komoditas udang. WPP tersebut antara lain WPP-RI 571, WPP-RI 572, WPP-RI 711, WPP-RI 712, WPP-RI 573, WPP-RI 713, WPP-RI 715, dan WPP-RI.
Sementara itu, komoditas kakap merah juga mengalami penangkapan berlebih di 4 WPP-RI, yaitu WPP-RI 718, WPP RI-712, WPP-RI 572, dan WPP-RI 571.
Toni mengatakan moratorium tidak hanya untuk melakukan pendataan terhadap kapal eks asing yang diduga melakukan praktek un-reported fishing saja, namun juga untuk keberlanjutan sumber daya ikan wilayah RI agar tidak mengalami kelangkaan karena penangkapan yang berlebihan.
"Itu lah yang mendasari kondisi ikan saat ini, tidak merata dan memerlukan penataan ulang," katanya.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2407
JAKARTA. Selain permintaan tengah melemah, harga minyak semakin murah akibat perang harga (Harian KONTAN, 3 Desember 2014). Yang terbaru, Arab Saudi kembali memberikan harga diskon kepada para pelanggannya demi mempertahankan pangsa pasar. Harga minyak minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent tergelincir.
Mengutip data Bloomberg, Jumat (5/12), pukul 16.05 WIB, harga minyak WTI pengiriman Januari 2015 di New York Merchantile Exchange terpeleset 0,82% dibandingkan hari sebelumnya menjadi US$ 66,26 per barel. Koreksi harga ini sudah berlangsung selama sepekan lalu. Sejak akhir tahun 2013, harga minyak WTI sudah tergelincir 37%.
Sedangkan kemarin, harga minyak Brent di ICE Futures Europe pengiriman Januari 2015 turun ke level terendah empat tahun di US$ 69,26 per barel. Sejak akhir tahun lalu, harga brent sudah terjun 34,59%. Bulan depan, perusahaan BUMN, Saudi Arabian Oil Co memangkas penjualan Arab Light ke Asia sebesar US$ 2 per barel di bawah harga pasar. Itu merupakan harga terendah dalam 14 tahun.
Daniel Yergin, analis energi dan pemenang Pulitzer, mengatakan, kerajaan Arab Saudi tak ingin memberi subsidi kepada Iran, Irak, dan Venezuela dan membiarkan harga ditentukan mekanisme pasar. “Tampaknya Arab Saudi mendapatkan apa yang diinginkan. Kita akan melihat harga terus berada di bawah tekanan,†ujar Phil Flynn, analis senior Price Futures Group di Chicago kepada Bloomberg.
Zulfi rman Basir, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, mengatakan, kebijakan Arab Saudi kembali menurunkan harga jual minyak di pasar Asia dan Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu faktor penting penurunan harga minyak mentah saat ini. Arab Saudi tengah berupaya mempertahankan pangsa pasarnya di tingkat global.
Daripada kehilangan pasar, Arab Saudi memilih menurunkan kembali harga minyak miliknya. Sementara negaranegara non-OPEC seperti Rusia dan AS tetap mempertahankan produksi minyak. “Ini menyebabkan terjadinya oversupply minyak di pasar,†kata Zulfi rman.
Oversupply ini salah satunya juga didorong oleh keputusan OPEC yang memutuskan tetap memproduksi minyak 30 juta barel per hari dalam pertemuan November 2014 lalu. Padahal permintaan minyak sedang lesu. Perlambatan ekonomi China dan Zona Eropa menyebabkan permintaan minyak menurun.
Minyak yang diperdagangkan dalam mata uang dollar AS semakin tak berdaya karena dollar terus menguat. Kenaikan indeks dollar AS mengurangi daya tarik investor pada komoditas seperti minyak.
“Tidak heran harga minyak terlempar ke titik terendah sejak lima tahun lalu,†tambah Zulfi rman.
Musim dingin
Sejatinya harga minyak bisa terkerek akibat berlangsungnya musim dingin. Apalagi jika musim dingin berlangsung panjang. Tapi Tonny Mariano, Analis PT Harvest International Futures menuturkan, harga minyak masih dalam tren turun.
Meski saat ini di AS, Eropa dan Australia tengah memasuki musim dingin, lonjakan permintaan minyak belum tampak. “Minyak perlu mencatatkan penutupan harga di atas level US$ 75 per barel untuk mengonfirmasi tren naik (bullish),†tutur Tonny.
Apalagi data tenaga kerja AS diprediksi positif. Penambahan tenaga kerja di luar sektor pertanian (nonfarm payrolls AS) pekan lalu diperkirakan sebesar 231.000 pekerja. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya sebesar 214.000 pekerja.
Secara teknikal Zulfirman memaparkan, harga minyak mentah berada di bawah moving average (MA) 50,100, dan 200 harian. Ini mengindikasikan bahwa harga minyak masih dalam tren bearish.
Sedangkan indikator stochastic berada di level 25, dengan indikasi jenuh jual (oversold) sebagai potensi untuk bargain hunting.
Relative strength index (RSI) juga oversold dengan potensi bargain hunting di level 28. Terakhir, garis moving average convergence divergence (MACD) di level minus 2,78 dengan indikasi turun menuju bearish.
Sepekan ke depan Firman memprediksi, harga minyak bergerak di kisaran US$ 62 sampai US$ 70 per barel. Hingga akhir tahun, harga minyak berada di US$ 65 per barel.
Sedangkan Tonny menebak harga minyak sepekan bakal bergerak di level US$ 63-US$ 70 per barel. Hingga akhir tahun, harga berkisar di US$ 60–US$ 75 per barel.
Narasumber : kontan.co.id
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2149
JAKARTA. Selain permintaan tengah melemah, harga minyak semakin murah akibat perang harga (Harian KONTAN, 3 Desember 2014). Yang terbaru, Arab Saudi kembali memberikan harga diskon kepada para pelanggannya demi mempertahankan pangsa pasar. Harga minyak minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent tergelincir.
Mengutip data Bloomberg, Jumat (5/12), pukul 16.05 WIB, harga minyak WTI pengiriman Januari 2015 di New York Merchantile Exchange terpeleset 0,82% dibandingkan hari sebelumnya menjadi US$ 66,26 per barel. Koreksi harga ini sudah berlangsung selama sepekan lalu. Sejak akhir tahun 2013, harga minyak WTI sudah tergelincir 37%.
Sedangkan kemarin, harga minyak Brent di ICE Futures Europe pengiriman Januari 2015 turun ke level terendah empat tahun di US$ 69,26 per barel. Sejak akhir tahun lalu, harga brent sudah terjun 34,59%. Bulan depan, perusahaan BUMN, Saudi Arabian Oil Co memangkas penjualan Arab Light ke Asia sebesar US$ 2 per barel di bawah harga pasar. Itu merupakan harga terendah dalam 14 tahun.
Daniel Yergin, analis energi dan pemenang Pulitzer, mengatakan, kerajaan Arab Saudi tak ingin memberi subsidi kepada Iran, Irak, dan Venezuela dan membiarkan harga ditentukan mekanisme pasar. “Tampaknya Arab Saudi mendapatkan apa yang diinginkan. Kita akan melihat harga terus berada di bawah tekanan,†ujar Phil Flynn, analis senior Price Futures Group di Chicago kepada Bloomberg.
Zulfi rman Basir, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, mengatakan, kebijakan Arab Saudi kembali menurunkan harga jual minyak di pasar Asia dan Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu faktor penting penurunan harga minyak mentah saat ini. Arab Saudi tengah berupaya mempertahankan pangsa pasarnya di tingkat global.
Daripada kehilangan pasar, Arab Saudi memilih menurunkan kembali harga minyak miliknya. Sementara negaranegara non-OPEC seperti Rusia dan AS tetap mempertahankan produksi minyak. “Ini menyebabkan terjadinya oversupply minyak di pasar,†kata Zulfi rman.
Oversupply ini salah satunya juga didorong oleh keputusan OPEC yang memutuskan tetap memproduksi minyak 30 juta barel per hari dalam pertemuan November 2014 lalu. Padahal permintaan minyak sedang lesu. Perlambatan ekonomi China dan Zona Eropa menyebabkan permintaan minyak menurun.
Minyak yang diperdagangkan dalam mata uang dollar AS semakin tak berdaya karena dollar terus menguat. Kenaikan indeks dollar AS mengurangi daya tarik investor pada komoditas seperti minyak.
“Tidak heran harga minyak terlempar ke titik terendah sejak lima tahun lalu,†tambah Zulfi rman.
Musim dingin
Sejatinya harga minyak bisa terkerek akibat berlangsungnya musim dingin. Apalagi jika musim dingin berlangsung panjang. Tapi Tonny Mariano, Analis PT Harvest International Futures menuturkan, harga minyak masih dalam tren turun.
Meski saat ini di AS, Eropa dan Australia tengah memasuki musim dingin, lonjakan permintaan minyak belum tampak. “Minyak perlu mencatatkan penutupan harga di atas level US$ 75 per barel untuk mengonfirmasi tren naik (bullish),†tutur Tonny.
Apalagi data tenaga kerja AS diprediksi positif. Penambahan tenaga kerja di luar sektor pertanian (nonfarm payrolls AS) pekan lalu diperkirakan sebesar 231.000 pekerja. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya sebesar 214.000 pekerja.
Secara teknikal Zulfirman memaparkan, harga minyak mentah berada di bawah moving average (MA) 50,100, dan 200 harian. Ini mengindikasikan bahwa harga minyak masih dalam tren bearish.
Sedangkan indikator stochastic berada di level 25, dengan indikasi jenuh jual (oversold) sebagai potensi untuk bargain hunting.
Relative strength index (RSI) juga oversold dengan potensi bargain hunting di level 28. Terakhir, garis moving average convergence divergence (MACD) di level minus 2,78 dengan indikasi turun menuju bearish.
Sepekan ke depan Firman memprediksi, harga minyak bergerak di kisaran US$ 62 sampai US$ 70 per barel. Hingga akhir tahun, harga minyak berada di US$ 65 per barel.
Sedangkan Tonny menebak harga minyak sepekan bakal bergerak di level US$ 63-US$ 70 per barel. Hingga akhir tahun, harga berkisar di US$ 60–US$ 75 per barel.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 1983
Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di Bursa Malaysia pada awal perdagangan Jumat (05/12/2014) bergerak rebound.
Perdagangan CPO untuk kontrak Desember 2014 di Bursa Malaysia, seperti tercatat di Bloomberg, pada pembukaan perdagangan hari ini berada pada level 2.150 ringgit Malaysia per ton.
Harga tersebut sudah menguat 0,14% dibandingkan dengan penutupan pada Kamis (04/12/2014) yang melemah 0,6% ke 2.147 ringgit/ton.
Pada pukul 09.42 WIB atau sekitar 10.42 waktu Kuala Lumpur, harga CPO belum beranjak dari level pembukaan. Sampai dengan waktu tersebut, CPO bergerak di kisaran harga 2.150 ringgit/ton.
Pergerakan Harga CPO*
Waktu |
Ringgit Malaysia/Ton |
Persentase Perubahan |
5/12 (09.42 WIB) |
2.150 |
+0,14% |
4/12 |
2.147 |
-0,6% |
3/12 |
2.160 |
+1,46% |
2/12 |
2.129 |
+1,38% |
1/12 |
2.116 |
-1,44% |
28/11 |
2.147 |
-0,83% |
*Kontrak Desember 2014
Sumber: Bloomberg 2014
Narasumber : bisnis.com
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2152
WASHINGTON. Booming shale oil atau minyak serpih yang berasal dari Amerika Serikat turut menyeret harga minyak dunia. Saat pasar komoditas berdebat soal potensi penurunan harga minyak ke level US$ 50, harga minyak di North Dakota terjun ke US$ 50 per barel.
Minyak mentah yang dijual di wilayah shale Bakken, North Dakota bahkan turun ke level US$ 49,69 per barel pada akhir pekan lalu. Ini merupakan data dari unit pemasaran Plains All American Pipeline LP.
Harga ini turun 47% ketimbang level tertinggi Juni lalu dan lebih murah 29% ketimbang harga minyak Brent di level US$ 70,15 per barel. Wilayah shale besar lain seperti Niobrara di Kolorado dan Permian di Texas pun menjual minyak dengan harga diskon besar ketimbang harga minyak Brent dan West Texas Intermediate yang lebih mahal.
Andy Lipow, Presiden Lipow Oil Association LLC mengatakan, perusahaan shale oil sebenarnya perlu biaya untuk pengumpulan minyak, pengiriman, terminal, jalur pipa dan biaya jalur kereta. "Bila perusahaan-perusahaan ini menjual di harga yang hampir sama dengan harga produksi, maka selisihnya akan sangat jauh dengan harga minyak WTI," kata Lipow kepada Bloomberg.
Bakken memproduksi 1,12 juta barel minyak per hari. Akhir tahun lalu, jaringan pipa baru bisa menampung 583.000 barel minyak per hari. Menurut Pipeline Authority, kapasitas pipa ini akan dinaikkan menjadi 773.000 barel akhir tahun ini dan menjadi 1,7 juta barel minyak per hari pada akhir tahun 2017. Alhasil, booming minyak dari tambang shale masih akan berlanjut beberapa tahun.
Narasumber : kontan.co.id