- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2134
SYDNEY. Banyak pihak telah memprediksi Bank Sentral Australia atau Reserve Bank of Australia (RBA) bakal melanjutkan pemangkasan suku bunga karena perlambatan pertumbuhan ekonomi Negeri Kanguru. Goldman Sachs Group Inc dan Deutsche Bank AG merupakan dua institusi yang meramal hal tersebut bakal terjadi.
Goldman dan Deutsche Bank berharap, RBA akan memangkas lagi suku bunga pada tahun depan menjadi 2% dari sebelumnya 2,5%. Padahal dengan bunga sekarang, Australia sudah mengukir rekor suku bunga terendah.
Seperti diberitakan Bloomberg, Rabu (3/12), prediksi Goldman dan Deutsche mengacu pada pengumuman angka pertumbuhan ekonomi Australia yang jauh dari harapan. Pada kuartal ketiga tahun ini, Australia hanya mampu mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3%.
Asal tahu saja, berdasarkan catatan www.tradingeconomics.com, dengan mengutip data dari Australia Bereau of Statistic, pertumbuhan ekonomi Australia selama periode 1959 sampai 2014 rata-rata sebesar 0,88%. Pertumbuhan ekonomi tertinggi Australia sebesar 4,50% dicapai pada kuartal pertama tahun 1976.
Sedangkan pada kuartal kedua tahun 1974, Australia membukukan pertumbuhan minus 2%. Angka ini sekaligus menjadi sejarah terburuk di Australia.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Australia pun tengah menghadapi tekanan. "Pertumbuhan ekonomi yang rendah karena lesunya bisnis pertambangan, konsumsi, serta perumahan," ujar Tim Toohey, Kepala Ekonomi dan Strategi Goldmand Sachs di Merbourne seperti dikutip Bloomberg.
Penurunan harga bijih besi betul-betul memukul perekonomian Australia. Sebab, produk komoditas ini menyumbang seperlima dari pendapatan ekspor Australia.
James Mclntyre dari Macquaire Group Ltd memperkirakan, Australia perlu menggelontorkan lebih banyak stimulus pada tahun depan. "Saya melihat Bank Sentral Australia akan memangkas pertumbuhan ekonomi lagi pada tahun depan," ucap Mclntyre.
Mclntyre kini mempertanyakan, apakah Bank Sentral Australia akan menggelontorkan stimulus pada akhir tahun ini, atau awal tahun depan.\
Dalam pertemuan terakhir, Bank Sentral Australia masih tetap optimistis akan mempertahankan suku bunga pada level saat ini. Namun kebijakan itu sendiri akan dikaji ulang pada pertemuan dewan gubernur yang akan berlangsung pada 3 Februari 2015 mendatang,
Bank Sentral Australia telah berupaya keras mendorong belanja konsumen dan perusahaan untuk mengimbangi jatuhnya investasi pertambangan. Perusahaan-perusahaan di Australia juga telah memutuskan tidak melakukan ekspansi.
Mereka lebih memilih membagikan sedikit hasil keuntungannya menjadi dividen kepada investor, ketimbang berinvestasi. Toyota Motor Corp. misalnya, mengumumkan akan berhenti memproduksi mobil di Australia.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2510
WASHINGTON. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menilai penurunan harga minyak dunia akan membantu pemulihan ekonomi global sekaligus berisiko ke negara produsen minyak.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde mengatakan, secara umumm penurunan harga minyak berpengaruh baik pada ekonomi global. Tapi bagi negara seperti Rusia yang merupakan produsen minyak, penurunan harga jadi ancaman serius yang menambah kerentanan ekonomi.
Kata Lagarde, penurunan 30% harga minyak menjadi dorongan 0,8% pertumbuhan bagi sebagian besar negara maju. "Pengaruhnya sekitar 0,6% untuk Amerika Serikat," kata Lagarde seperti dikutip Bloomberg.
Adapun di Rusia, minyak dan gas menyumbang 68% ekspor dan 50% anggaran federal. Sejak awal tahun hingga kini, Rusia kehilangan hampir US$ 90 miliar cadangan devisa, setara dengan 4,5% ekonomi Rusia.
Bank of Rusia kembali intervensi pasar dengan mengguyurkan US$ 700 juta. Ini merupakan intervensi pertama dalam sebulan terakhir.
IMF telah mengingatkan negara-negara Timur Tengah untuk bersiap-siap mencatat defisit fiskal. Selain negara-negara Timur Tengah, Venezuela dan beberapa negara Afrika penghasil minyak bisa kena dampak.
Di sisi lain, negara-negara kawasan mata uang euro bagian selatan yang kena krisis finansial dalam lima tahun terakhir malah perlu bersyukur atas penurunan harga minyak. Penurunan harga minyak yang diikuti menurunnya biaya bensin bisa mendorong permintaan konsumen.
Menteri Keuangan Spanyol Luis de Guindos mengatakan, pertumbuhan ekonomi tahunan Spanyol bisa bertambah hingga 1% dengan harga minyak antara US$ 80 hingga US$ 90 per barel.
Sedangkan, menurut hitungan BNP Paribas SA, ekonomi Italia yang masuk resesi tahun keempat, bisa naik 0,3% bila harga minyak turun US$ 10 per barel. "Tidak ada keraguan bahwa harga minyak yang lebih rendah bisa menjadi stimulus pertumbuhan wilayah ini," kata Frederik Ducrozet, ekonom Credit Agricole.
Ducrozet menambahkan, Yunani, Spanyol, Portugal dan Italia akan menjadi negara-negara yang jelas diuntungkan. Sebagai pengimpor minyak, negara-negara ini untung karena ongkos energi yang makin murah akan meningkatkan daya beli konsumen. Malah, Jens Weidmann, Presiden Bank Sentral Jerman, Bundesbank mengatakan, penurunan harga minyak ini merupakan paket stimulus mini.
China yang menghadapi perlambatan ekonomi pun turut diuntungkan penurunan sekitar 30% harga minyak. Menurut hitungan Mizuho Bank Ltd, penurunan harga minyak tersebut bisa menambah 0,3% hingga 0,5% pertumbuhan ekonomi China. "Harga minyak yang lebih rendah juga memudahkan bank sentral untuk memangkas lagi suku bunga tahun depan," imbuh Frederic Neumann, Co-head of Asian Economics HSBC Holdings Plc.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2278
Metrotvnews.com, Jakarta: Research and Analyst PT Monex Investindo Futures Zulfirman Basir mengatakan, outlook minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) cukup bearish, dimana CPO dapat mengalami pelemahan dengan target penurunan RM2085 dan stop-loss RM2150. "CPO mungkin akan diperdagangkan di kisaran RM2100 hingga RM2140 untuk hari ini," kata Zulfirman dalam risetnya, Rabu (3/12/2014).
Dari sisi fundamental, lanjut Zulfirman, pasar masih cemas dengan efek penurunan harga minyak dunia belakangan yang dapat mengurangi minat terhadap CPO untuk bio-diesel. Investor juga khawatir dengan melimpahnya suplai kedelai dunia, produk substitusi terhadap CPO untuk produk input makanan olahan. "Hal ini dapat memberikan sentimen negatif untuk CPO," ujarnya.
Namun, kata Zulfirman, kebijakan pajak ekspor CPO nol persen yang masih dijalankan Indonesia dan Malaysia dapat meredakan kekhawatiran atas melimpahnya stok CPO di negara produsen. Pelemahan nilai tukar Rupiah dan Ringgit Malaysia juga dapat memberikan harapan akan membaiknya kinerja ekpor CPO dari kedua produsen CPO terbesar di dunia tersebut.
"Data Tiongkok yang dirilis pagi ini yang menunjukkan kenaikan aktivitas sektor jasa Tiongkok dari 52,9 ke 53,0 di November mungkin dapat meredakan kecemasan atas kondisi ekonomi Tiongkok, konsumen CPO terbesar nomor 2 di dunia. "Hal ini mungkin dapat memberikan sentimen positif untuk CPO," tukasnya.
Narasumber : metrotvnews.com
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 1942
JAKARTA. Tak seperti biasanya, di musim dingin yang melanda negara empat musim kali ini, harga minyak semakin loyo. Akhir pekan lalu (28/11), dalam sehari harga terjun bebas 10,81% ke US$ 66,15 per barel. Ini level terendah lebih dari empat tahun. Pemicunya, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak mengurangi produksi.
Dan harga minyak sepertinya masih betah dalam tren penurunan. Pada Selasa (2/11) pukul 17.30 WIB, harga West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Januari 2015 di New York Merchatile Exchange turun 0,8% dibanding hari sebelumnya ke US$ 68,46 per barel. Bahkan Jonathan Barratt, Chief Investment Officer Ayers Alliance Securities kepada CNBC, mengeluarkan ramalan nan menyeramkan: harga WTI berpeluang menembus US$ 40 per barel. "Itu terjadi jika perang harga ini tidak terkendali," katanya.
Isu perang harga minyak mengemuka setelah salah satu produsen minyak kelas paus, Arab Saudi, memotong harga jual resmi ke beberapa pelanggan empat bulan berturut-turut sampai November.
Tapi, Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, memprediksi, harga minyak berpeluang menguat terbatas di akhir tahun lantaran penurunannya sudah cukup tajam. Apalagi ada katalis positif, berlangsungnya musim dingin, sehingga permintaan energi naik.
Akhir tahun ini, harga bergulir di US$ 65–US$ 70 per barel. Namun tahun depan, harga bisa melemah lagi. “Harga bisa jatuh di bawah US$ 60 per barel,†ungkap Hans. Anjloknya harga minyak mentah karena perlambatan ekonomi global, terutama China, sebagai salah satu konsumen terbesar, sehingga permintaan turun. Sementara stok minyak Amerika Serikat (AS) meningkat, setelah menemukan teknologi shale oil. Ini adalah teknologi pengeboran untuk memproduksi minyak yang terperangkap dalam batuan serpih.
Minyak mentah oversupply tapi OPEC ngotot menolak pengurangan produksi. Hans menduga, OPEC sengaja agar harga kian jatuh dan AS berhenti memproduksi shale oil. Jika harga tinggi, AS terus menggenjot shale oil dan bisa menjadi pengekspor minyak tahun depan. OPEC tak mau itu terjadi dan tetap ingin mendominasi pasar minyak.
Ariston Tjendra, Head of Reserch and Analysis Division PT Monex Investindo Futures memprediksi harga minyak akhir tahun di US$ 60,30-US$ 72 per barel. “Harga minyak masih melemah, kecuali ada perbaikan ekonomi China," ujarnya.
Kuartal I-2015, harga masih tertekan akibat perlambatan ekonomi China dan kenaikan indeks dollar AS karena ekspektasi suku bunga The Fed naik. Prediksi Ariston, harga minyak di US$ 62-US$ 75 per barel. “Minyak baru menguat pertengahan tahun depan,†ujarnya.
Narasumber : kontan.co.id
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2109
JAKARTA. Aktivitas manufaktur China yang melambat menyebabkan harga tembaga tergelincir ke level terendah empat tahun terakhir. Maklum, Tiongkok merupakan negara importir logam terbesar saat ini.
Mengutip Bloomberg Senin (1/12), harga tembaga pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) turun 1,91% dari Jumat (28/11) menjadi US$ 6.230,75 per metrik ton. Ini merupakan level terendah sejak 10 Juni 2010.
Persediaan tembaga LME meningkat menjadi 164.300 metrik ton pada 28 November 2014. Dilihat dari data bursa harian, ini merupakan level tertinggi sejak Juni 2014.
Ibrahim, Analis dan Direktur Equilibrium Komoditi Berjangka, mengatakan indeks manufaktur China yang hanya 50,3 lebih rendah ketimbang ekspektasi pasar menjadi sentimen negatif bagi tembaga. Tidak hanya itu, indeks manufaktur HSBC juga stagnan di level 50.
China menggelontorkan stimulus CNY 250 miliar dengan basis suku bunga. Tapi menurut Ibrahim, langkah ini tidak sesuai dengan utang China baik pemerintahan maupun swasta yang sebesar CNY 500 miliar. "Ketidaksesuaian ini menyebabkan pelaku pasar apatis sehingga pasar tidak terstimulus," kata Ibrahim.
Secara teknikal, bollinger band dan moving average (MA) masih 40% di atas bollinger bawah. Stochastic 60% negatif serta garis MACD 60% di area negatif. Tapi relative strength index (RSI) 65% di area positif.
Hari ini Ibrahim menduga, harga tembaga bergerak dengan support US$ 6.250 dan resistance US$ 6.360 per metrik ton. Di akhir tahun, tembaga bisa menguat karena ada potensi dollar AS melemah. Harga tembaga bisa terangkat ke US$ 6.700 per metrik ton.
Narasumber : kontan.co.id