- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2490
JAKARTA. Harga timah terjun ke level terendah selama 14 bulan terakhir. Harga timah meleleh lantaran tertekan oleh prospek perekonomian Tiongkok yang semakin terpuruk. Seperti diketahui, Tiongkok adalah pengguna komoditas timah terbesar di dunia.
Indeks manufaktur China pada September tahun ini tercatat sebesar 50,2. Angka tersebut menurun dibandingkan sebulan sebelumnya. Hal ini turut memperdalam koreksi harga timah.
Mengutip Bloomberg, pada Senin (29/9) lalu, harga timah untuk kontrak pengiriman Desember di London Metal Exchange (LME) menurun 0,6% dibandingkan harga Jumat (26/9) pekan lalu, menjadi US$ 20.398 per metrik ton. Harga tersebut terjun paling dalam sejak 30 Juli 2013.
Ibrahim, analis pasar komoditas dan Direkstur Equilibirium Komoditas Berjangka, mengatakan, semakin anjloknya harga timah lantaran tekanan ekonomi China yang semakin dalam. Penurunan indeks manufaktur Tiongkok pada September tahun ini turut menambah tekanan. Sebelumnya, penjualan properti di Negeri Tembok Raksasa ini juga melambat.
Perekonomian China memang sangat terpuruk. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok hingga akhir tahun ini tidak akan bisa mencapai target yakni sebesar 7,4%. Di sisi lain, dollar Amerika Serikat terus menguat sehingga turut menambah tekanan terhadap ekonomi China.
Pelemahan harga timah juga karena berlimpahnya pasokan timah. “Masih oversupply,†ujar dia. Harga timah diprediksi masih melemah, terutama di kuartal IV 2014. Sebab, The Fed kemungkinan besar menaikkkan suku bunga acuannya di akhir tahun 2014. “Meningkatanya PDB AS mengindikasikan The Fed akan menaikkan bunga di akhir tahun ini,†jelas Ibrahim.
Jika The Fed mengerek bunga pada November atau Desember 2014, Ibrahim menebak, harga timah bisa terjun ke US$ 19.500, level terendah sejak bursa timah muncul.
Secara teknikal, timah masih melemah. Moving average 40% berada di atas bollinger tengah. Stochastic berada di level 75% area negatif menunjukkan harga turun, moving average convergence divergence (MACD) di level 65% negatif mengindikasikan turun. Adapun relative strength index (RSI) di level 70% negatif, memperlihatkan masih melanjutkan penurunan.
Ibrahim menduga, harga timah dalam sepekan ke depan berkisar US$ 20.100 hingga US$ 20.490 per metrik ton.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2254
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2465
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Harga batubara belum mampu bangkit. Meski sudah beberapa kali mencetak rekor terendah sejak tahun 2009, harga batubara masih berpotensi menyentuh level bawah (bottom). Mengacu Bloomberg, Jumat (26/9/2014), harga batubara berada di posisi 65,4 dollar AS per metrik ton. Dalam sepekan terakhir, harga itu sudah tertekan 1 persen.
Sepanjang tahun ini, harga komoditas energi ini sempat rebound dari level terendah. Namun hal itu tak bertahan lama dan pamor batubara kembali meredup.
Gunawan Sutanto, Head of Research Philip Securities Indonesia, mengatakan, harga batubara belum menunjukkan perubahan berarti. Kekhawatiran lesunya permintaan masih menghantui harga batubara. Menurut dia, seandainya naik, kebangkitan harga batubara hanya bersifat technical rebound.
Secara fundamental, tren harga batubara belum berubah. “Permintaan global belum pulih. Hingga kini, belum ada tanda-tanda rebound yang solid untuk batubara,†ujar Gunawan.
Permintaan batubara melambat di Tiongkok dan Eropa
Seperti diketahui, perekonomian China saat ini melambat. Di sisi lain, kecemasan lesunya permintaan juga muncul pasca Pemerintah Tiongkok mengeluarkan wacana pengurangan penggunaan batubara berkalori rendah. Sebab, daya bakar batubara berkalori rendah sangat kecil. Hal ini menimbulkan masalah lingkungan.
Di Eropa, ekonomi yang masih rapuh menggerus permintaan batubara. Gunawan menilai, nasib ekspor batubara dari Australia maupun Indonesia kian tak jelas. Padahal, Australia selaku produsen utama batubara menjadikan pertambangan sebagai tumpuan ekonominya. Dia menduga harga batubara di level rendah masih berlangsung hingga kuartal pertama tahun depan.
Muhammad Al Fatih, analis Samuel Sekuritas Indonesia, menambahkan, muramnya harga batubara adalah imbas penguatan dollar AS. Pelaku pasar memanfaatkan momentum ini untuk keluar dari komoditas dan beralih ke indeks dollar. Meski sudah turun tajam, Al Fatih menilai harga batubara masih berpeluang menginjak batas bawah di 60,2 dollar AS per metrik ton hingga akhir tahun ini. Ini merupakan level terendah sejak Maret 2009.
“Kalaupun batubara rebound, belum akan mengubah tren. Batubara masih tetap bearisah,†kata dia. Harga batubara terus turun dalam tiga tahun terakhir. Untuk menuju up trend, maka batubara perlu konsolidasi dulu dalam waktu lama. Selanjutnya baru beranjak naik.
Secara teknikal, sejumlah indikator menunjukkan penurunan. Harga berada di bawah MA 50, 100 dan 200. MACD masih membentuk dead cross. Ini menunjukkan baik short term maupun medium term, batubara masih tertekan.
Gunawan memprediksi, harga batubara sepekan ke depan 64,30-66,30 dollar AS per metrik ton. Adapun target akhir tahun di 63 dollar AS per metrik ton. Sedangkan Al Fatih menduga batubara di level 63,5-66,7 dollar AS per metrik ton. Target akhir tahun di 60,2 dollar As per metrik ton. (Dina Farisah)
Narasumber : tribunnews.com
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2487
JAKARTA. Harga batubara belum mampu bangkit. Meski sudah beberapa kali mencetak rekor terendah sejak tahun 2009, harga batubara masih berpotensi menyentuh level bawah (bottom). Mengacu Bloomberg, Jumat (26/9), harga batubara berada di posisi US$ 65,4 per metrik ton. Dalam sepekan terakhir, harga itu sudah tertekan 1%.
Sepanjang tahun ini, harga komoditas energi ini sempat rebound dari level terendah. Namun hal itu tak bertahan lama dan pamor batubara kembali meredup.
Gunawan Sutanto, Head of Research Philip Securities Indonesia, mengatakan, harga batubara belum menunjukkan perubahan berarti. Kekhawatiran lesunya permintaan masih menghantui harga batubara. Menurut dia, seandainya naik, kebangkitan harga batubara hanya bersifat technical rebound.
Secara fundamental, tren harga batubara belum berubah. “Permintaan global belum pulih. Hingga kini, belum ada tanda-tanda rebound yang solid untuk batubara,†ujar Gunawan.
Permintaan batubara melambat di Tiongkok dan Eropa
Seperti diketahui, perekonomian China saat ini melambat. Di sisi lain, kecemasan lesunya permintaan juga muncul pasca Pemerintah Tiongkok mengeluarkan wacana pengurangan penggunaan batubara berkalori rendah. Sebab, daya bakar batubara berkalori rendah sangat kecil. Hal ini menimbulkan masalah lingkungan.
Di Eropa, ekonomi yang masih rapuh menggerus permintaan batubara. Gunawan menilai, nasib ekspor batubara dari Australia maupun Indonesia kian tak jelas. Padahal, Australia selaku produsen utama batubara menjadikan pertambangan sebagai tumpuan ekonominya. Dia menduga harga batubara di level rendah masih berlangsung hingga kuartal pertama tahun depan.
Muhammad Al Fatih, analis Samuel Sekuritas Indonesia, menambahkan, muramnya harga batubara adalah imbas penguatan dollar AS. Pelaku pasar memanfaatkan momentum ini untuk keluar dari komoditas dan beralih ke indeks dollar. Meski sudah turun tajam, Al Fatih menilai harga batubara masih berpeluang menginjak batas bawah di US$ 60,2 per metrik ton hingga akhir tahun ini. Ini merupakan level terendah sejak Maret 2009.
“Kalaupun batubara rebound, belum akan mengubah tren. Batubara masih tetap bearisah,†kata dia. Harga batubara terus turun dalam tiga tahun terakhir. Untuk menuju up trend, maka batubara perlu konsolidasi dulu dalam waktu lama. Selanjutnya baru beranjak naik.
Secara teknikal, sejumlah indikator menunjukkan penurunan. Harga berada di bawah MA 50, 100 dan 200. MACD masih membentuk dead cross. Ini menunjukkan baik short term maupun medium term, batubara masih tertekan.
Gunawan memprediksi, harga batubara sepekan ke depan US$ 64,30-US$ 66,30 per metrik ton. Adapun target akhir tahun di US$ 63 per metrik ton. Sedangkan Al Fatih menduga batubara di level US$ 63,5-US$ 66,7 per metrik ton. Target akhir tahun di US$ 60,2 per metrik ton.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2481
JAKARTA. Pemerintah menyatakan pinjaman dana dari China senilai US$ 360 juta untuk kelanjutan pembangunan proyek jalan tol Solo-Kertosono sudah disetujui.
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Djoko Murjanto mengatakan saat ini tahap prakualifikasi untuk konstruksi proyek jalan tol ini sedang dilakukan. "Kami harapkan Desember sudah ada dana untuk uang muka dan Januari 2015 konstruksi fisik bisa dilakukan," kata Djoko akhir pekan lalu.
Jalan tol Solo-Kertosono memiliki panjang 176,7 kilometer (km) dan dibagi dalam dua ruas yakni Solo-Ngawi sepanjang 90,1 km yang dioperasikan PT Solo Ngawi Jaya (SNJ) dan Ngawi Kertosono sepanjang 86,6 km yang konsesinya dipegang PT Ngawi Kertosono Jaya. Kedua Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) ini adalah milik PT Thiess Contractors Indonesia (TCI).
Dari dua ruas tol tersebut, pemerintah mendapatkan porsi untuk membangun 40 km, dengan perincian 15 km di Solo-Ngawi dan 25 km di Ngawi-Kertosono dan sisanya menjadi tanggung jawab BUJT.
Djoko mengatakan pembangunan fisik untuk 15 km sudah berlangsung dan telah mencapai 90%. Sementara, dana pinjaman China yang akan digunakan ini adalah untuk membangun 25 km di ruas Ngawi-Kertosono. "Pemerintah akan bangun 15 km di awal dan 25 km diakhir ruas tol ini," paparnya.
Solo-Kertosono merupakan bagian dari jalan tol Trans Sumatera yang menghubungkan Banten-Surabaya. Sejauh ini PT SNJ telah mulai membangun ruas tol Solo-Ngawi sejak September tahun lalu dan hingga kini masih berlangsung, sedangkan untuk Ngawi-Kertosono masih dalam tahap pembebasan lahan.
Proyek jalan tol Solo-Kertosono merupakan proyek infrastruktur dengan skema Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Pembangunan 40 km lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan upaya agar membuat proyek ini layak secara finansial, karena tingkat pengembalian investor atau Financial Internal Rate Return (FIRR) proyek ini hanya 14%, padahal proyek jalan tol dianggap layak jika FIRR diatas 15%.