- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2936
Harga batubara pada bulan Juli 2014 telah turun ke harga terendah sejak September 2009 yang disebabkan melimpahnya pasokan batubara global untuk pembangkit listrik hingga akhir tahun ini. Harga batubara di pelabuhan Newcastle-Australia yang merupakan eksportir terbesar kedua dunia sebagai acuan harga Asia turun menjadi $ 67,05 per ton pada bulan Juli.
Melimpahnya pasokan ini terlihat dari rencana pengiriman batubara dari eksportir-eksportir terbesar dunia seperti Indonesia, Kolombia, dan juga Australia. Indonesia, eksportir terbesar di dunia untuk batubara termal, diproyeksikan untuk meningkatkan pengiriman sebesar 2 persen menjadi 420 juta ton tahun ini.
Demikian juga produsen terbesar di Amerika Latin – Kolombia, akan naik sebanyak 12,8 persen pada 2014 ke level rekor 97 juta. Untuk Pengiriman dari Australia diperkirakan akan naik sebesar 2 juta ton tahun ini menjadi 190 juta, menurut Biro Sumber Daya dan Ekonomi Energi Australia yang juga memproyeksikan penjualan naik 3,7 persen menjadi 197 juta pada tahun 2015.
Namun kelebihan pasokan ini akan bergeser kembali jika cuaca yang buruk dan hambat pengiriman. Selain itu juga tahun 2015 nanti diperkirakan pasokan akan berkurang pasca kurang untungnya bisnis batubara di negeri tersebut yang membuat lebih dari 2.000 tambang kecil akan menutup tambangnya tahun 2015.
Joel/Journalist/VM/VBN
Editor: Jul Allens
Narasumber : vibiznews.com
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 3008
Harga timah di Bursa KLTM pada perdagangan hari ini (7/8) terpantu ditutup melemah dibandingkan penutupan hari sebelumnya. Pelemahan harga timah ini dipicu oleh tekanan dari menguatnya tensi antara Russia-Ukraina.
Pelemahan di bursa KLTM ini tidak mengikuti trend perdagangan di London Metal Exchange yang mengalami kenaikan harga diakhir penutupan perdagangan semalam. Sebelumnya dalam tiga hari berturut-turut harga timah di LME mengalami penurunan. Kenaikan harga timah ini dikarenakan faktor teknikal setelah penurunan harga selama tiga hari berturut-turut.
Pada perdagangan hari ini di Bursa KLTM, harga timah terpantau ditutup melemah ke tingkat harga $22.380/ton atau turun $20/ton, sedangkan harga perdagangan di bursa LME semalam khususnya timah berjangka untuk pengiriman 3 bulan kedepan naik ke tingkat harga $22.450 atau naik $95/ton.
Untuk pergerakan harga timah di bursa LME malam ini, Analis Vibiz Research dari Vibiz Consulting memprediksi harga timah akan mengikuti jejak pelemahan di bursa KLTM seiring pasar komoditi internasional sedang fokus kepada tensi geopolitik yang cukup tinggi di kawasan Ukraina.
Afif Bahar/ Analyst Economy Research at Vibiz Research/VM/VBN
Editor: Jul Allens
image: Wikimedia
Narasumber : vibiznews.com
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2886
Liputan6.com, Jakarta - Mulai 1 September 2014, pengusaha batu bara yang ingin mengekspor harus menjadi eksportir terdaftar. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39 Tahun 2014 yang mengatur tentang eksportir terdaftar batu bara.
Staf Ahli Bidang Manajemen Kementerian Perdagangan Junaidi mengatakan, Peraturan Menteri tersebut baru ditandatangani pada 14 Juli 2014.
Menurut dia, hal ini baru pertama kali dilakukan Kementerian Perdagangan, karena sebelumnya baru komoditas timah yang diatur eksportir terdaftarnya.
"Khusus batu bara eksportir terdaftarnya ini pertama, untuk timah sudah lama, tapi ini pertamakali Kementerian Perdagangan mengatur eksportir terdaftar, baik produsen dan non produsen," kata Junaidi, saat menggelar sosialisasi di Hotel Arya Duta, Jakarta, Kamis (7/8/2014).
Junaidi berharap, dengan adanya peraturan yang ditandatangani Menteri Perdagangan M Lutfi tersebut meningkatkan ekspor tetapi terdeteksi.
"Mudah-mudahan dengan ini ekspor meningkat tapi terdeteksi," ungkapnya.
Juanidi menambahkan, dengan Peraturan yang mulai berlaku 1 September 2014 tersebut membuat proses ekspor batu bara lancar dan tertib.
Semua proses ekspor nantinya menggunakan unit pelayanan perdagangan, terhubung perizinan satu pintu ( national singel window).
"Apa yang sudah diekspor tolong dilaporkan, cukup elektronik. Juga surveyor kerja profesional, karena sudah ditetapakan ditunjuk kemendag, ini amanah tolong laksanakan dengan sebaiknya," tutur dia.
Namun menurut Junaidi, para pengusaha tidak boleh terlena dengan memproduksi batu bara secara besar-besaran, karena komoditas tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan.
"Kita kedua setelah Australia (produksi batubara), kita bangga tapi jangan terlena. Kita lihat migas, kita senang sekali menjadi anggota OPEC (organinasi pedagang minyak dunia), tetapi harus disadari batu bara tidak terbarukan kita atur bersama, ini karunia Tuhan tidak semua negara memiliki seperti yang dimiliki Indonesia," pungkasnya.(Pew/Nrm)
Narasumber : liputan6.com
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2773
JAKARTA. Harga timah terperosok dalam dua pekan terakhir. Namun data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China yang positif berpotensi mengerek harga timah dalam jangka pendek. Harga juga bisa terangkat jika konflik geopolitik di Ukraina semakin memanas.
Mengutip Bloomberg, Jumat (18/7), harga timah kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) berada di level US$ 22.100 per metrik ton. Harga turun 0,11% dibanding hari sebelumnya. Timah tergelincir 2,9% dalam dua pekan terakhir.
Ibrahim, analis dan Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka mengatakan, harga timah berpotensi naik terbatas dalam jangka pendek. PDB China kuartal II-2014 menunjukkan angka positif 7,5% atau lebih baik dari estimasi 7,4%. Ini memberikan sentimen positif bagi timah. Namun, efeknya hanya sementara. Secara jangka panjang, timah masih dibayangi tekanan yang berasal dari prediksi Goldman Sachs yang mengatakan bahwa kebutuhan terhadap komoditas akan melambat pada tahun 2015-2016. “Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan masih akan mengalami perlambatan. Kondisi ini dikhawatirkan mengurangi permintaan terhadap komoditas, termasuk timah,†jelas Ibrahim.
Di sisi lain, lanjut Ibrahim, harga timah masih kesulitan naik karena stok di negara produsen seperti Indonesia masih cukup banyak. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 32, ekspor timah batangan diwajibkan melalui bursa. Nantinya, ekspor timah dalam bentuk lain atau soldier juga akan diwajibkan melalui bursa. Diperkirakan, stok semakin menumpuk pada kuartal IV-2014. Aturan ini bertujuan untuk menekan ekspor timah ilegal yang tidak jelas asal usulnya.
Meskipun masih dalam tren penurunan, harga timah bisa melambung apabila tensi geopolitik di Ukraina kembali mencuat. Setelah konflik sempat mereda, kabar terbaru, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa akan menjatuhkan sanksi tambahan terhadap Rusia terkait penembakan pesawat Malaysia Airlines oleh pemberontak pro Rusia.
Namun, belum ada kepastian sanksi apa yang akan diberikan. Uni Eropa tampak berhati-hati dalam menjatuhkan sanksi. Sebab, Uni Eropa sangat bergantung pada Rusia sebagai pemasok komoditas. Apabila sanksi berkaitan dengan embargo, maka Rusia sebagai penghasil komoditas tidak dapat mengekspor nikel, tembaga, minyak mentah, timah dan gas. “Ketegangan geopolitik berpotensi menguatkan harga. Namun hal ini belum didukung secara teknikal,†imbuhnya.
Secara teknikal, pergerakan harga relatif downtrend. Hal itu ditunjukkan oleh bollinger band yang berada 70% di atas bollinger bawah. Moving average juga berada 70% di atas bollinger bawah. Baik bollinger band dan moving average memperlihatkan timah belum mampu menanjak.
Indikator lainnya yaitu moving average convergence divergence (MACD) berada 60% dengan pergerakan negatif. Stochastic berada 70% di area positif. Sementara relative strength index (RSI) berada 60% di zona positif. Tiga indikator menunjukkan pergerakan turun. Dan dua indikator lainnya mendukung kenaikan timah.
Ibrahim bilang harga timah masih dibayangi tekanan. Dalam sepekan ke depan, timah akan bergerak di kisaran US$ 22.000-US$ 22.180 per metrik ton.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 3040
JAKARTA. Kerjasama strategis antara PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dengan perusahaan Australia, Direct Nickel (DNi) dalam pembangunan pabrik pengolahan nikel mencapai nilai US$ 800 juta-US$ 1 miliar.
Djaja M. Tambunan, Direktur Keuangan Antam mengatakan, dengan kebutuhan investasi sebesar itu mayoritas akan dipenuhi oleh DNi. "Kita mungkin hanya akan penuhi 15% saja, karena porsi saham kita di sana minoritas," katanya di Jakarta, Jumat (18/7).
Pada Januari lalu, DNi mengumumkan bakal bersama Antam membangun pabrik pengolahan Nikel di Buli, Halmahera, Maluku Utara. Pabrik yang akan mampu memproduksi 10.000-20.000 ton konsentrat nikel per tahun ini dibangun berdekatan dengan salah satu megaproyek Antam, yakni Feronikel Halmahera Timur (FeNi Haltim).
Rencana tersebut, bahkan telah diungkapkan secara resmi oleh DNi kepada Bursa Efek Australia (ASX). Sebagai langkah awal, kedua belah pihak telah mulai melakukan studi kelayakan di pabrik pengolahan DNi yang berada di Buli.
Studi kelayakan tersebut ditargetkan selesai pada awal 2015 mendatang. DNi menyatakan pembangunan itu merupakan respon atas penerapan larangan ekspor bijih nikel oleh Pemerintah Indonesia.
Kebijakan ini tentu akan berpengaruh pada negara-negara importir bijih nikel besar seperti China. DNi menilai persediaan bijih nikel di sana akan menipis di tahun ini sebagai imbas dari kebijakan Indonesia.
Maklum saja sekitar 20% pasokan bijih nikel berasal dari Indonesia. Nah, DNi bersama Antam ingin mengail peluang dengan mengekspor konsentrat nikel ke negara-negara yang tadinya banyak mengimpor bijih nikel dari Indonesia.
Pasalnya, konsentrat nikel, diklaim DNi, tidak terkena larangan ekspor Pemerintah Indonesia. Rencana pembangunan pabrik ini merupakan puncak dari serangkaian kerjasama antaran Antam dengan DNi.
Kedua belah pihak pertama kali menjajaki kerjasama sekitar lima tahun lalu ketika Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dirilis. Pada 22 Juli 2013 lalu, Antam dan DNi pertama kali menandatangani kerjasama secara resmi dalam hal operasi pengujian pabrik (test plant) di Perth, Australia.
Antam menyumbang 200 nikel laterit untuk kemudian diolah menjadi nickel mixed hydroxide di pabrik milik DNi tersebut. Kendati begitu, Djaja enggan mengungkapkan, kapan pabrik pengolahan nikel hasil kerjasama dengan DNI tersebut akan mulai dibangun. "Semua terserah DNi, karena mereka yang cari dana untuk itu," jelas Djaja.