- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2864
JAKARTA. Penjualan industri alat berat nasional turun di semester pertama tahun ini. Mengacu data Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi), penjualan alat berat paruh pertama 2014 turun 19,68% jika dibandingkan penjualan periode yang tahun lalu.
Sampai dengan Juni 2014, penjualan alat berat nasional tercatat 2.550 unit, turun dibandingkan penjualan periode yang sama tahun lalu 3.175 unit. Penjualan alat berat yang dihitung oleh Hinabi adalah alat berat yang terdiri dari:buldozer, excavator, mini dump truck dan lain-lain.
Pangkal bala dari penurunan penjualan alat berat ini merupakan imbas dari penurunan kinerja industri tambang. "Tambang tahun ini lebih lesu dibandingkan tahun lalu, sehingga permintaan alat berat berkurang," kata Pratojo Dewo, Penasihat Hinabi kepada KONTAN, Selasa (12/8).
Beruntung ada sektor konstruksi yang menopang kinerja bisnis alat berat pada paruh pertama tahun ini. Menurut Hinabi, penjualan sektor konstruksi paruh pertama tahun ini mencapai 30% dari total penjualan alat berat. Menyusul sektor pertambangan dan perkebunan masing-masing 25%. Sisanya berasal dari sektor kehutanan.
Tahun ini, Hinabi memperkirakan penjualan alat berat hanya mencapai 5.000 unit atau turun 36% dari realisasi penjualan tahun lalu sebanyak 6.000 unit. Ia bilang, penjualan alat berat semester kedua nanti tak jauh beda dengan semester pertama.
Saat ini, produksi alat berat domestik seperti buldozer, excavator, mini dump truck dan alat berat lain bisa mencapai 10.000 unit per tahun. Namun kapasitas produksi terpasang tak bisa mencapai kapasitas maksimal. Alasannya, 50% dari penjualan alat berat impor baik dari Jepang maupun Tiongkok.
Asal tahu saja, alat berat yang dikategorikan produksi dalam negeri adalah alat berat dengan kandungan komponen lokal sebesar 45%-55%. Kandungan lokal itu biasanya berupa rangka, casis dan body. Sedangkan bahan baku yang impor meliputi mesin dan pompa.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2968
JAKARTA. Harga nikel masih bergerak dalam tren positif dan berpotensi menuju ke level US$ 20.000 per metrik ton pada sisa tahun ini. Kenaikan harga ditopang oleh larangan ekspor mineral mentah di Indonesia. Selain itu, hambatan pasokan nikel juga terjadi akibat konflik geopolitik di Ukraina.
Mengutip Bloomberg, Selasa (12/8) pukul 16:26 WIB, harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) sebesar
US$ 18.660 per metrik ton, naik tipis 0,05% dibandingkan hari sebelumnya. Ini kenaikan harga tiga hari perdagangan secara berturut-turut.
Analis komoditas PT Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, secara umum prospek harga nikel pada tahun ini masih bagus. Larangan ekspor mineral mentah di Indonesia mampu menghambat laju suplai nikel dunia. Akibatnya harga nikel sepanjang tahun ini terkerek. "Kebijakan ini masih menjadi sentimen positif bagi nikel," kata Wahyu.
Kenaikan harga nikel juga telah mendorong sejumlah perusahaan membuka kembali pertambangan yang terbengkalai. Mereka di antaranya adalah Avebury Nickel Mines Ltd, Poseidon Nickel Ltd dan Panoramic Resources Ltd.
Avebury yang berbasis di Perth berencana membuka pertambangan di Tasmania, yang tidak digarap selama enam tahun. Sedangkan Poseidon dan Panoramic sedang menyiapkan produksi pertambangan di Australia Barat.
Mengutip Bloomberg, OAO GMK Norilsk Nickel yang merupakan pemasok nikel terbesar di dunia menyebutkan, kemungkinan akan ada lebih banyak produsen yang mengaktifkan kembali fasilitas pertambangan mereka. Perlu diketahui, harga nikel tahun ini sempat terbang hingga ke level US$ 21,625 per metrik ton, akibat larangan ekspor mineral mentah di Indonesia.
Langkah pembukaan kembali pertambangan nikel seperti dilakukan Avebury, menurut Wahyu, untuk menambah suplai nikel. "Masih ada ruang untuk penambahan produksi," ujar Wahyu.
Menurut dia, penguatan harga nikel juga disokong oleh ancaman gangguan suplai dari Rusia. Akibat konflik geopolitik dengan Ukraina, ekspor nikel dari Rusia ke Eropa terganggu. Selain itu, ada harapan permintaan nikel dari China akan naik seiring membaiknya perekonomian negara tersebut.
Akhir pekan lalu, rilis data Consumer Price Index (CPI) China pada bulan Juli 2014 sebesar 2,3% tidak berubah dari bulan sebelumnya. Selanjutnya, pasar menanti data produksi industri China yang akan dirilis hari ini.
Wahyu memprediksi, harga nikel tahun ini masih berpotensi menyentuh US$ 20.000 per metrik ton. Sedangkan sepekan ke depan, harga nikel konsolidasi di US$ 18.400-US$ 19.000 per metrik ton.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2759
JAKARTA. Penjualan industri alat berat nasional mengalami penurunan pada semester I-2014. Penurunannya pun cukup besar, yakni 19,68% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lesunya sektor tambang, dituding jadi faktor utamanya.
Berdasarkan data dari Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi), penjualan alat berat nasional pada semester I-2014 sebanyak 2.550 unit, turun dari tahun lalu yang sebanyak 3.175 unit.
Alat berat yang dimaksud seperti buldoser, excavator, mini dump truck dan lain-lain.
"Tambang lebih lesu dibandingkan tahun lalu, permintaan alat berat jadi berkurang," ujar Pratojo Dewo, Penasihat Hinabi kepada KONTAN, belum lama ini.
Untungnya, sektor konstruksi tahun ini cukup menggeliat, sehingga bisa menopang penjualan alat berat. Pada semester I, penjualan alat berat di sektor konstruksi berkontribusi 30% dari total penjualan alat berat.
Sedangkan sektor perkebunan dan kehutanan menyumbang 25% dan 20% dari total penjualan. Dan sisanya sebesar 25% dari sektor pertambangan.
Tak kondusifnya industri tambang tersebut, membuat Hinabi memperkirakan penjualan alat berat di tahun ini bakal hanya akan sekitar 5.000 unit, turun dari tahun lalu yang sebanyak 6.000 unit.
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2899
INILAHCOM, Jakarta - Kementerian ESDM menyatakan akan mempertimbangkan persyaratan penerbitan rekomendasi Eksportir Terdaftar (ET) bagi pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Usulan penetapan ET bagi PKP2B merupakan rekomendasi dari Indonesian Resources Studies (IRESS). "Rekomendasi ET tersebut kami matangkan. Dan memang usulan dari IRESS tetap menjadi bahan pertimbangan," kata Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, R Sukhyar di Jakarta, Senin (11/8/2014).
Sukhyar menuturkan rekomendasi ET rencananya akan tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara. Beleid ini rencananya bakal terbit dalam waktu dekat.
Persyaratan itu berlaku untuk perusahaan pemegang PKP2B dan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). "Setelah ini terbit, kami segera lakukan sosialisasi," ujarnya.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara, sebelumnya mengatakan mendukung langkah pmerintah dalam rangka pengendalian ekspor batubara melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/7/2014 tentang ketentuan ekspor batubara dan produk batubara. Peraturan ini bisa sebagai instrumen untuk menyelesaikan renegosiasi PKP2B.
"Harus ada perlakuan yang sama antara KK dan PKP2B. Kami ingin pemerintah gunakan berbagai instrumen dan cara pelaksanaan agar amanat UU Minerba bisa segera diwujudkan," ujarnya. [hid]
Narasumber : inilah.com
- Ditulis oleh Administrator
- Kategori: Berita
- Diperbarui pada 16 Jun 2016
- Dilihat: 2781
JAKARTA. Di tengah kondisi komoditas yang melesu, PT Timah (Persero) Tbk (TINS) berupaya menata bisnisnya. Rencananya, TINS akan membuat anak usaha baru semester kedua ini. Nantinya, anak usaha tersebut akan bergerak di bidang properti.
“Pembentukan anak usaha bisa secepatnya kuartal ketiga. Atau paling lambat kuartal keempat,†ungkap Agung Nugroho, Sekretaris Perusahaan TINS, kepada KONTAN, Senin, (11/8).
Untuk anak usaha baru tersebut, TINS akan bekerja sama dengan emiten konstruksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA). Di situ, TINS akan memegang porsi mayoritas. Agung belum mau mengungkapkan berapa porsi permodalan itu. Namun bisa saja TINS menguasai 40% lalu ADHI dan WIKA masing-masing 30%.
Nantinya, anak usaha itu akan mengembangkan lahan seluas 176 hektare (ha) yang TINS miliki di daerah Kota Legenda, Bekasi. Agung bilang bahwa Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan tersebut bernilai sekitar Rp 800 miliar sampai Rp 1 triliun.
Ia mengaku bahwa TINS masih dalam pembicaraan dengan ADHI dan WIKA mengenai desain besar proyek tersebut. Namun jika melihat lokasinya, pembangunan residensial dengan pusat perbelanjaan dianggapnya menarik.
Untuk pengembangannya, TINS akan mencari pendanaan eksternal. Terlebih, kebutuhan investasi proyek tersebut pastinya berjumlah besar. Saat ini TINS pun tengah melakukan penjajakan dengan beberapa perbankan. Apalagi, posisi kas dan setara kas TINS cuma Rp 356,96 miliar di semester satu.
Meskipun bisnis properti tengah melambat, Agung beralasan bahwa sektor tersebut masih menarik karena harganya yang bisa melambung. Lalu setidaknya, TINS berusaha untuk tak hanya tergantung pada bisnis tambang. “Tambang akan habis. Kita tak ingin PT Timah habis seiring komoditas yang habis,†ucapnya.
Secara garis besar, TINS berencana merapikan struktur anak usahanya. Nantinya, TINS akan menempatkan PT Timah Investasi Mineral khusus sebagai perusahaan yang bergerak di non-timah. Sehingga, anak usahanya yang bergerak di bidang batubara, nikel, dan bauksit akan dimerger. Sebelumnya, TINS pun telah mengalihkan sahamnya di PT Timah Eksplomin ke Timah Investasi Mineral.
Kemudian, Agung menyebut bahwa TINS juga akan membentuk anak usaha baru yang akan bergerak di bidang hilirisasi. Sehingga, seluruh bisnis hilir akan dijalankan di bawah kepitan PT Timah Industri. Sekedar informasi bahwa dalam laporan keuangan semester satu, TINS tercatat memiliki 12 anak usaha.
“Dengan adanya peleburan ini, selain secara permodalan lebih kuat dan fokus,†tandas Agung.